Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga Gangguan Jiwa *)
Peran Keluarga : Selama di Rumah Sakit
Peran keluarga dalam menangani anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa tidak hanya penting di rumah, tetapi juga selama di rumah sakit, keluarga mempunya peran yang diharapkan dapat dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi kesembuhan pasien. Keluarga merupakan bagian dari tim pengobatan dan perawatan. Apalagi di Indonesia dengan kultur sosialnya tinggi di tambah keterbatasan jumlah perawat di rumah sakit sehingga tugas merawat orang sakit yang dirawat di rumah sakit umumnya dilakukan oleh keluarga yang menjaga dan menunggui secara bergantian, bahkan sering menjaga bersama-sama. Sementara perawat di rumah sakit yang seharusnya merawat orang sakit juga harus melakukan tugas-tugas yang lain di bangsal perawatan. Hal itu harus dimaklumi.
Tugas keluarga biasanya memenuhi kebutuhan harian yang tidak bisa dipenuhi pasien secara mandiri. Khususnya untuk pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit, jika secara fisik tidak mengalami gangguan maka ketergantungan terhadap orang lain biasanya minimal sehingga jarang pasien gangguan jiwa ditunggui oleh keluarga. Perawatan dan pengawasan diserahkan kepada fihak rumah sakit.
Pasien yang dirawat di rumah sakit menemukan teman-teman dan kelompok yang mengalami masalah yang sama. Walaupun begitu keluarga perlu menjajagi kebutuhan pasien akan komunikasi dengan keluarga di kurun waktu hospitalisasi. Berbagai respon yang berbeda tiap-tiap pasien akan dialami saat mulai hari pertama di rumah sakit sampai pemulangan. Pasien mungkin awalnya merasa terasing, mungkin juga kerasan, mungkin tidak mau pulang, atau bahkan ingin pulang. Peran keluarga penting untuk memantau kebutuhan pasien dari laporan perawat atau jika perlu malakukan komunikasi langsung. Pada beberapa rumah sakit mungkin mengizinkan pasien untuk membawa alat komunikasi maka ini perlu digunakan.
Pada pasien gangguan jiwa di rumah sakit yang untuk memenuhi kebutuhan hiegien dan toilet secara fisik tergantung maka keluarga berperan menjadi caregiver (umumnya di Indonesia).
Tugas Keluarga bisa sbb :
- Merawat penderita
- Memberikan support
- Memastikan keberlangsungan pendampingan oleh keluarga
- Melaporkan gejala atau perubahan perilaku yang tidak normal, di setiap shift .
- Memastikan obat diminum
- Melaporkan penolakan pasien terhadap pengobatan
- Memenuhi kebutuhan dasar penderita
- Membangun komunikasi dengan pihak rumah sakit
Keluarga sebagai Tim perawat .
Hak atas Informasi Perawatan dan Pengobatan
Keluarga nantinyalah yang akan menerima penderita di rumah sepulang dari rumah sakit. Begitu siap dipulangkan keluarga menerima estafet pengelolaan penderita di rumah sebagai kelanjutan pengelolaan di rumah sakit. Karena itu selama di rumah sakit keluarga berhak atas informasi pengobatan, perawatan, dan penanganan lainnya terhadap penderita. Karena itu bertanya kepada pihak rumah sakit merupakan hak keluarga untuk memperoleh informasi tersebut. Keluarga perlu perlu mulai membuka dan menjalin ’kedekatan’ dengan personel rumah sakit untuk keperluan ini. Aspek-aspek yang perlu ditanyakan dapat di lihat pada Kotak 1.
Aspek Medis dan Perawatan
Box 1. Hak Keluarga atas Informasi Anggota Keluarga yang Dirawat di Rumah Sakit
|
Keluarga perlu mengetahui persiapan apa yang perlu dilakukan sebelum anggota keluarga sakit dipulangkan kerumah. Keluarga harus sudah melakukan introspeksi dan melakukan ancang-ancang perubahan yang diperlukan bagi kesehatan anggota keluarga yang baru dirawat di rumah sakit. Semua anggota keluarga perlu mengetahui dan mengerti perilaku apa yang mendukung kesehatan mental pasien dan perilaku apa yang merusak kesehatan jiwa. Hal ini sudah mulai direnungkan dan tidak ada salahnya memperoleh informasi dari fihak rumah sakit. Rumah sakit yang bermutu akan menyiapkan edukasi keluarga menjelang pemulangan.
Setelah Kembali ke Rumah
Penderita gangguan jiwa yang di bawah ke rumah sakit jiwa akan memperoleh pengobatan yang diperlukan untuk mengurangi gejala, mencegah kekambuhan, dan menghilangkan gejala. Pertanyaannya adalah apakah pengobatan di rumah sakit sudah cukup? Jawabannya adalah pengobatan pasien di Rumah Sakit tidaklah cukup sampai di situ saja, begitu di rawat dan kemudian dinyatakan sembuh total kemudian pasien pulang dan dengan pengobatan dan penaganganan kontinu dirumah pasien diharapkan memperkecil peluang untuk kambuh.
Pasien yang datang ke rumah sakit dengan diagnosa gangguan jiwa memperoleh stressornya dari lingkungan sebelumnya yaitu rumah tinggal atau lingkungan kerja dimana waktu sering di gunakan di situ, begitu pasien datang ke rumah sakit, pasien memperoleh ’situasi dan suasana terapi’ yang berbeda dengan situasi sebelumnya.
Menyadari Masa Transisi: Adaptasi keluarga
Begitu kembali ke rumah atau lingkungan semula maka segala hal di rumah bisa menjadi trigger pada situasi mental dimana kemudian memudahkan pasien untuk kembali mengalami gangguan jiwa. Karena itu pengobatan dan pengelolaan pasien di rumah sangat penting. Beberapa waktu begitu pasien tiba dirumah setelah diputuskan pulang merupakan masa terapi transisi. Adanya terapi transisi ini hendaknya disadari oleh keluarga bahwa mereka berfungsi sebagai ’terapist’ yang mengajari dan membimbing pasien agar bisa beradaptasi secara mental di lingkungan yang ada. Keluarga melakukan pengawasan yang hati-hati dan mendeteksi situasi emosional dan kemampuan beradaptasi pasien. Keluarga juga perlu melakukan perubahan lingkungan yang diduga atau diyakini berkaitan dengan stressor pasien. Pasien juga diajari untuk beradaptasi.
Memantau terapi farmakologi
Setelah pasien dinyatakan boleh dipulangkan dari Rumah Sakit umumnya pasien tetap memperoleh terapi farmakologi yang perlu untuk diminum dalam waktu tertentu kadang-kadang relatif lama untuk mencegah kekambuhan. Pasien diberi tanggung jawab untuk melakukan ke-ajeg-an minum obat. Ini merupakan bentuk ’kecil’ pengajaran tanggung jawab yang berkonsekwensi ’besar’. Nah peran keluarga adalah memantau sebarapa jauh tanggung jawab ini dapat ditunaikan oleh pasien. Pada titik tertentu pasien teledor maka keluarga bukan sekedar memantau tetapi memberikan penekanan ulang terhadap tanggung jawab ke-ajegan minum obat ini secara persuasif untuk mencapai perubahan perilaku internal. Pemaksaan terhadap suatu perilaku tertentu terhadap pasien hanya akan memperoleh efek jangka pendek, bahkan pasien sering melakukan manipulasi dengan pura-pura minum obat. Karena itu penyadaran terhadap ke-ajegan minum obat ini penting sehingga pasien mampu mengontrol diri sendiri, bukan keluarga.
Peka Terhadap Kemungkinan Reaksi Emosional Penderita
Keluarga adalah orang-orang terdekat. Saling melindungi dan mencintai tumbuh tanpa disadari antar anggota keluarga. Interaksi paling intens adalah keluarga sebagai orang terdekat. Setiap perilaku akan direspon secara keseluruhan oleh anggota keluarga lain. Ada sebuah ungkapan bahwa orang yang paling kita cintailah yang berpotensi besar melahirkan sakit hati dan penderitaan pada seseorang. Artinya stressor terbesar dapat dengan mudah kita temukan berasal dari dalam anggota keluarga sendiri. Keluarga pasien gangguan mental perlu peka terhadap setiap keputusan, tingkah laku dan sikap yang akan terespon secara emosional atau fisikal oleh anggota keluarga yang sakit. Jadi harus diingat yang dimaksud respon disini adalah bukan hanya gejala yang terlihat tetapi juga yang bersifat laten. Jadi keluarga harus peka terhadap suasana emosional pasien atas interaksi yang dihasilkan dengan anggota lainnya.
Garda Terdepan dan Tumbuhkan Keterbukaan
Kembali ke rumah setelah dinyatakan sembuh dari sakit jiwa berbeda dengan pulang sembuh dari rumah sakit non jiwa. Beban lain perlu di atasi oleh pasien yaitu rasa malu dan rendah diri karena stigma ’sakit ingatan’ yang pernah diderita. Pasien merasa dirinya akan menjadi bahan gunjingan, mungkin jadi bahan olokan, atau akan ditolak dalam kegiatan sosial dan kekhawatiran lepasnya peran penting di masyarakat maupun lingkungan kerja. Belum lagi terjadi semua hal tersebut, bayangan dan perasaan negatif ini saja sudah cukup membebani pasien. Keluarga harus segera menyadari hal ini dan melakukan perlindungan terhadap perasaan negatif ini dengan menjadi yang terdepan memberi rasa aman, rasa positif, rasa memerlukan pasien, bersikap terbuka. Perilaku minimal adalah anda jangan berbisik-bisik dengan anggota keluarga lain atau orang lain di depan pasien. Hal ini akan membuka peluang pasien untuk menciptakan prasangka negatif tentang dirinya, menumbuhkan rasa curiga, dan akhirnya suasana tidak sehat karena hubungan dan interaksinya tumbuh berdasarkan prasangka. Perilaku yang didasari prasangka pastilah salah. Perilaku yang salah cenderung akan direspon salah jika tidak terjalin suasana terbuka.
Terbuka terhadap Lingkungan Sosial
Selanjutnya keluarga sebagai lingkaran terdalam dari interaksi pasien bertanggung jawab untuk melakukan ’edukasi’ terhadap komunitas lingkaran llebih luar dari interaksi pasien dengan melakukan pendekatan-pendekatan melalui kemungkinan kesempatan yang ada ataupun kesempatan yang direncanakan. Mengidentifikasi dan mengenali orang penting pasien diluar keluarga dan mengoptimalkan perannya dalam perubahan komunitas interaksi pasien. Sebelum pasien tiba di rumah menjelaskan secara terbuka tentang apa yang terjadi dan peran yang diharapkan atas mereka.
Geser Aspek Nilai Kehidupan ke Nilai yang Menguatkan
Keluarga berperan dalam memberikan harapan yang realistis terhadap anggota keluarga. Harapan yang tidak realistik terlalu tinggi menjatuhkan pasien secara mental. Jatuh dari tempat tinggi tentu lebih menyakitkan. Harapan yang tinggi bisa menghancurkan mental pasien yang memandang harapan tersebut adalah segala-galanya. Berikan alternatif harapan lain, dan ajari untuk belajar bersyukur dan puas dengan apa yang sudah diterima. Sandaran nilai agama juga merupakan alternatif utama. Islam misalnya mengajarkan bahwa apa yang kita raih milik Allah dan semua akan kembali lagi kepada pemilik-Nya. Begitu juga dengan nilai-nilai agama lain tentunya mengajarkan nilai-nilai yang menguatkan.
Senantiasa Belajar dan Mengikuti Pengetahuan Baru
Pengetahuan senantiasa berkembang, cara-cara baru relatif lebih sempurna. Peran keluarga adalah selalu belajar dan mencari pengetahuan dari sumber yang bisa dipercaya dan pada bidangnya. Masyarakat tertentu begitu mendewakan dan fanatik pada figur keagaaman tertentu dimasyarakat sehingga segala hal ditanyakan dan konsultasi pada figur agama tersebut. Masalah bisnis, masalah pekerjaan, masalah rumah tangga, masalah jodoh, masalah rumah dikonsultasikan dan pamit pada satu orang. Ini adalah kultur yang perlu di kikis agar tidak menghancurkan. Pengalaman penulis bertemu dengan seorang yang obesitas, dan perokok berat dan mengalami hipertensi kronis. Saya berkata kepada orang tersebut dengan cara halus bahwa merokok membahayakan dirinya. Dia malah menceritakan pengalamannya tentang rasa pusing yang diderita setelah itu dia bertanya kepada seoranga figur agama / tokok untuk mencari jalan keluar, dan memperoleh jawaban dari tokoh tersebut agar dia merokok, karena merokok menghilangkan pusing. Saat artikel ini ditulis, orang tersebut meninggal dunia karena penyakit kardiovaskuler. Pengalaman ini mengharuskan saya untuk menyarankan untuk menanyakan informasi dari ahlinya.
Meningkatkan Partisipasi Anggota Keluarga Lain sebagai Support
Perlu diingat bahwa riwayat sakit mental atau kekambuhan sakit mental merupakan faktor resiko bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang bunuh diri atau usaha bunuh diri mempunyai riwayat gangguan kejiwaan atau sudah pernah di rawat-inapkan di rumah sakit (HIMH, 2012). Peran keluarga juga bertambah berkaitan dengan faktor resiko bunuh diri ini. Peran keluarga sangat penting dan telah didukung dengan berbagai penelitian mengenai peran keluarga ini antara lain Knitzer,Steinbergh, & Fleich, (1993) yang menyatakan bahwa partisipasi keluarga mendorong peningkatan fokus keluarga.
Secara singkat menurut Marsh et all (2012) peran keluarga dalam menangani anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sbb:
- Pendampingan pengobatan
- Fahami dan normalkan pengalaman penderita
- Pusatkan pada kelebihan-kelebihan dan kekuatan penderita
- Pelajari tentang sakit jiwa dan sumber-sumber yang berkaitan
- Ciptakan lingkungan yang mendukung penderita
- Tingkatkan kemampuan memecahkan masalah
- Bantu memulihkan perasaan sedih dan kehilangan penderita
- Kembangkan harapan yang realistis
*) Bahan siaran RRI Malang pada acara Gerbang Desa, Senin, 9 Juli 2012
000
Pustaka:
Anonim (2012) Mental Disorder Toolkit Diakses di http://www.relatedminds.com/ wp-content/uploads/ 2011/06/mdtoolkit.pdf pada 15 Mei 2012
Anonim (2012). When a Family Member has Mental Illness Diakses di http://wcmhar.org/familymembers.htm pada Mei 15 2012
Marsh., D. & Schenk, S. & Cook., A (2012) Families and Mental Illness . Diadaptasi oleh National Alliance on Mental Illness / NAMI.Diakses di : www.namigc.org/content/fact_sheet/familyinfo/familiesweb.htm pada 15 Mei 2012
Hunter Institute Of Mental Health / HIMH (2012) Mental illness and Suicide www.responseability.org/site/index.cfm?display=134913 Diakses pada 15 Mei 2012
Knitzer, J., Steinberg, Z., & Fleisch, B. (1993). At the Schoolhouse Door: An Examination of Programs and Policies for Children with Behavioral and Emotional Problems. New York: Bank Street College of Education.
Action of Mental Ilness (AMI) .(tanpa tahun) Role of the Family. Diakses di : www.amiquebec.org/RoleoftheFamily.htm . Diakses pada : Juni 2012.
keterangan:
Gambar Foto ilustrasi diambil dari :
Rana (2012) Tentang Akbar Diakses di http://ninelights.multiply.com/journal pada tanggal 16 Juni 2012