Menghadapi Kanker dengan Puisi

How I feared chemo, afraid

It would change me

It did

Something dissolved inside me

Tears began a slow drip

I cried at the news story

Of a lost boy found in the woods

At the surprising beauty

Of a bright leaf falling

Like the last strand of hair from my head

(Kyle Potvin)

 

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra, yang menunjukkan ketulusan emosional atau wawasan yang mendalam. Beberapa orang menggunakan puisi untuk mengekspresikan pikirannya, melepaskan emosi dan menunjukkan perasaan terdalam mereka. Ketika seseorang menulis sebuah puisi, pada batas tertentu, dapat meringankan beban mereka. Hal ini dapat terjadi karena dengan menulisnya seseorang seolah – olah menemukan pintu terbuka untuk mengeluarkan seluruh beban yang ada di dalam diri. Hal ini dapat dijadikan wadah bagi semua hal – hal buruk yang mengganggu pikiran seseorang. Sehingga pada akhirnya puisi dapat meredakan stress yang dialami seseorang.

Banyak orang telah mencoba menggunakan puisi untuk meredakan stress dan rasa takut, beberapa dari mereka adalah penderita kanker. Puisi di atas ditulis oleh Kyle Potvin, seorang penderita kanker. Ketika ia menemukan bahwa dirinya telah menderita kanker payudara di usianya yang ke – 41, ia menuliskan semua detailnya dalam sebuah jurnal. Tetapi ketika ia telah berhadapan dengan isu kematian, rasa takut dan harapan, ia menemukan wadah terbaik untuk dirinya adalah sebuah puisi.

Menurutnya, efek penyembuhan diperoleh dalam proses kreatif menuliskan sebuah puisi. Melalui puisi tulisannya dia mengekspresikan beberapa konsep tentang kehidupan, apakah itu negatif atau positif, dengan cara yang dapat membantunya untuk memproses apa yang ada dalam pikirannya. Dengan melakukan ini ia memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana cara menghadapinya.

Bukti lain tentang bagaimana orang menggunakan puisi sebagai sebuah alternatif perlindungan diri untuk pasien dengan kanker digagas oleh Dr. Rafael Campo, seorang proffesor kedokteran dari Universitas Harvard. Ia menggunakan puisi dalam prakteknya. Dia menawarkan terapi kelompok dengan menggunakan puisi dan materi kesehatan serta pendidikan di dalamnya kepada para pasiennya.

“Ini selalu mengejutkan bagi saya bagaimana mereka ingin membicarakan tentang puisi pada pertemuan kami berikutnya dan bukan hal – hal lain yang saya berikan kepada mereka”, katanya. “Ini seperti modus visceral berekspresi. Ketika tubuh kita mengkhianati kita sedemikian rupa sehingga sangat mendalam, tetapi lebih kuat lagi efeknya bagi pasien ketika mereka benar – benar menggunakan irama puisi untuk memahami apa yang terjadi dalam tubuh mereka”.

Dalam beberapa kunjungannya, ia memulai terapinya dengan mendiskusikan sebuah puisi dengan pasiennya. Salah satu judul puisi yang pernah didiskusikannya berjudul “At the cancer Clinic” ditulis oleh Ted Kooser, dari kumpulan puisi koleksinya yang berjudul “Delight and Shadows”, puisi ini berkisah tentang seorang perawat yang memegangi pintu untuk pasiennya yang bergerak lambat.

“How patient she is in the crisp white sails
of her clothes. The sick woman
peers from under her funny knit cap
to watch each foot swing scuffing forward
and take its turn under her weight.
There is no restlessness or impatience
or anger anywhere in sight. Grace
fills the clean mold of this moment
and all the shuffling magazines grow still”.

Dengan menulis dan mendiskusikan puisi, seseorang dapat menemukan kesenangan dalam pembentukan kata, melepaskan perasaan mereka dan menemukan beberapa wadah untuk melepaskan beban yang mungkin mereka rasakan. Hal ini benar – benar dapat membantu dalam proses penyembuhan bagi penderita kanker atau setidaknya dapat mengurangi rasa sakit dan ketakutan yang mereka rasakan dalam menghadapi penyakit terminal ini. Mereka menemukan sedikit pengharapan dalam kata – kata puisi, seperti yang dinyatakan oleh Susan Gubar, seorang proffesor emeritus dari Indiana University yang juga seorang penderita kanker ovarium. Dia menemukan pencerahan dalam bait puisi yang ditulis oleh Theodore Roethke yang berjudul “The Waking”

I wake to sleep, and take my waking slow.
I learn by going where I have to go.

Sepenggal puisi ini memberikan inspirasi tentang seseorang yang akan menghadapi "tidur akhir" dan tidak dapat bangun lagi. Ini berarti bahwa seseorang sedang menghadapi proses kematian. Tetapi dia harus menghadapinya dengan tenang dan tidak merasa takut karenanya. Karena kita masih memiliki sisa hidup kita, mengapa harus menjalaninya dengan rasa takut. "Belajar pergi kemana aku harus pergi" berarti mengapa harus terburu-buru? Bukankah lebih baik untuk memberi perhatian lebih tentang apa yang sedang dan akan terjadi? Tidak perlu khawatir tentang apa yang telah terjadi. Sebaris harapan itu dapat sangat membantu dalam mengurangi ketakutan terbesar yang dihadapi oleh penderita kanker.

Beberapa penyair juga menjelaskan mengapa mereka menemukan efek penyembuhan dalam puisi. Hal ini dimungkinkan karena melalui puisi mereka dapat menemukan inti dari perasaan mereka. Ini adalah bentuk kesederhanaan dari puisi, kebenaran nampak di dalamnya, hal ini membantu mereka mengatasi rasa takut. Jadi, kenapa tidak kita mencoba menggunakan puisi sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi stres dan ketakutan?

 

Daftar Pustaka

Majalah New York Times, terbit 4 Februari 2013