Orangtuanya Manusia:Himbauan bagi para orangtua

Tanpa disadari, kehadiran anak di dunia sesungguhnya menjadi semacam energi terbaru untuk manusia dewasa. Karena anak maka seorang ayah bersemangat bekerja, seorang ibu memiliki energi setiap hari. Bahkan sepulang bekerja yang melelahkan menjadi begitu indah ketika disambut anak dengan senyum cerianya.

Memang memiliki anak pastilah juga beban. Bagaimana membesarkan dan membiayainya, dan banyak lagi. Tetapi anugerah dan kebahagiaan yang akan anda dapatkan jauh lebih banyak dan tidak sebanding dengan beban yang diterima. Anak lahir ke dunia sebagai rezeki bagi orangtuanya. Sehingga dalam Al-Quran kata anak (aulad) sering disandingkan dengan kata harta (amwal). Anak diturunkan untuk menyenangkan manusia.

Sebagaimana harta, anak yang semula menjadi rezeki bisa saja berubah menjadi bencana yang mencelakakan manusia. Banyak sekali anak yang lahir lucu dan menggemaskan ternyata setelah beranjak remaja menjadi masalah bagi orangtuanya bahkan lingkungannya. Ada yang pecandu, hamil diluar nikah atau menghamili, tawuran pelajar, terlibat gank liar, dll. Apakah anak yang bermasalah memang sudah tersurat menjadi anak yang bermasalah? Adakah anak yang lahir ke dunia ini sudah berniat “klo sudah besar aku akan menjadi pecundang”, atau “klo sudah besar pengen nyusahin ortu”. Tidak mungkin bukan?

Ketika kondisi menghadapi anak bermasalah apakah layak apabila orangtua menjual dalil “anak saya terpengaruh teman-temannya”. Pertanyaannya adalah “mengapa anak bermasalah ini lebih terpengaruh temannya? Mengapa tidak terpengaruh orangtuanya yang sering menjual kata “ kami membesarkan kamu dengan keringat dan darah”. Nah...lo.Bukankah dengan  “jasa” orangtua yang seperti ini seharusnya anak lebih terpengaruh orangtuanya, apalagi anak menghabiskan waktu sejak 0-18 tahun pertama dengan orangtua atau keluarganya, bukan dengan orang lain. Lalu mengapa waktu yang singkat denagn temannya sanggup memberi pengaruh besar buat anak? Coba ajukan pertanyaan ini pada diri kita “Ada apa ini?”

Banyak anak zaman sekarang yang lebih mudah terpengaruh lingkungan pergaulan daripada terpengaruh orangtuanya. Orangtua menikah, mengandung, melahirkan, menafkahi, mencukupi kebutuhan anak, tetapi lupa bagaimana mendidik anak. Bagaimana menanamkan nilai-nilai moral pada anak sejak dini. Jika keluarga tidak mengintervensi, tidak membentuk, tidak menginstall pikiran anak dengan nilai dan karakter positip maka yakinlah bahwa akan ada pihak lain yang akan melakukannya. Pihak lain bisa teman sebaya, pergaulan, media sosial dan media informasi, dll.

Banyak sekali orangtua yang memiliki anak tetapi tidak menjadi orangtuanya manusia, mereka mengkondisikan anaknya “yatim piatu” padahal secara fisik mereka ada. Apabila orangtua bisa menempatkan diri sebagai orangtuanya manusia maka anak tidak akan kesulitan menghadapi derasnya pengaruh zaman. Sehingga untuk mengatasi keterlambatan orangtua dalam mengatasi anaknya maka yang marak saat ini adalah kampanye anti narkoba, kampanye kondom, kampanye reproduksi sehat. Efektif nggak sih? Beragam kampanye tersebut tidak salah dan pastinya ada manfaatnya. Tetapi bukan mengobati penyakitnya, hanya sesaat mengalihkan rasa sakit dari penyakit tersebut. Ibaratnya penyakit flu, maka bukan bagiamana meningkatkan kekbalan tubuh supaya tidak terserang flu, tetapi hanya sekedar menurunkan gejala penyakit dengan mengkonsumsi paracetamol. Nah....sekarang sebagai orangtua mau pilih meningkatkan kekebalan buah hati dengan menjadi orangtuanya manusia ataukah lebih memilih mengobati penyakit dengan kampanye kondom, reproduksi, narkoba? Buakankah orangtua sendiri bisa menjadi narasumber untuk kampanye tersebut.Install pikiran dan karakter anak-anak kita dengan karakter positip, karena anak kita bukan binatang yang cukup dibesarkan dengan makan, kasih sayang dan selanjutnya mereka akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Anak kita adalah anak manusia dan cara membesarkannya juga dengan menjadi orangtuanya manusia. Ada norma, etika, agama, dalam proses pembentukan karakter positip.

Sekarang coba bayangkan saat usia 20 tahun kita menikah dan dikaruniai anak, ooh betapa lucunya mereka. Selanjutnya saat kita usia 30 tahun melihat anak-anak beranjak remaja,oooh cantik/tampannya anakku. Than usia kita 40 tahun maka anak kita mulai menggapai cita-cita, kuliah, makin jauh dari orangtua, kitapun berdoa Ya Allah jagalah mereka. Pada saat kita usia 50 tahun anak-anak sudah mandiri bahkan sudah berkeluarga kitapun beergumam..ooh betapa singkatnya hidup ini. Ya Allah lindungi keluargaku dan keturunanku, selamatkan kami dari siksa api neraka.

Jika begitu keadaannya, maka benar-benar singkat hidup ini. Tidak bisa kita ulang. Betapa singkatnya waktu yang kita punya untuk mendampingi anak-anak kita. Jadi, jangan pernah ridha jika anak kita bisa membaca, belajar, mengaji, mengenal norma, memahami agama dari tangan orang lain. kita adalah orangtua mereka yang hanya punya waktu singkat untuk mendampingi mereka. Tangan kita sendiri yang akan mengantarkan buah hati kita menjadi khalifah di muka bumi. Cemburu dong kalau anak kita lebih percaya guru privatnya dari pada kita, Nggak nyaman dong kalau anak kita mau mengerjakan PR dengan gurunya sementara dengan kita menolak. Kalau kita tidk punya rasa cemburu itu maka jangan menyesal ketika kita sudah terbujur kaku dan anak kita menyerahkan pengurusan jenazah kita pada pemuka agama karrena mereka tidak tau bagaimana caranya. Naudzubillahimindzalik.Ayo manfaatkan waktu kita untuk buah hati tercinta, bukan sekedar kecukupan materi saja, tapi lebih luas dari itu. Install cara berfikir anak kita sejak dini denagn karakter positip.

Pustaka:

baihaqi ihsan IB dalam orangtuanya manusia, Bandung, 2012.

Elly Risman. Ensiklopedia. Jakarta.2008.